“Orang
Madura kurang berbudi bahasa dan tidak formal berbanding orang Jawa; mereka
mempunyai keberanian untuk menyatakan pendapatnya, juga tentang kelebihannya.
Gerak tubuhnya jelas kelihatan bersamaan dengan nada percakapan yang kuat,
bahasanya kedengaran kasar dan kesat tetapi penuh dengan ekspresi dan sejajar
dengan personaliti dirinya secara keseluruhan” (Van
Gelde, 1899)
A. Stereotipe Orang Madura
Mungkin
tidak ada satu sukupun di Indonesia yang menyandang begitu banyak stereotipe buruk
selain suku Madura. Stigma/stereotipe tersebut sudah muncul sejak jaman
Kolonial Belanda, seperti kutipan diawal tulisan ini yang merupakan pendapat
penulis Belanda pada jaman kolonial. Selain kutipan di atas, masih banyak
ditemukan tulisan dari jaman kolonial Belanda yang menuliskan stereotipe buruk
tentang suku Madura. Dalam buku Across
Madura Strait, susunan Kees van Dijk (1995), De Jonge (1995) telah menulis
satu bab yang berjudul Stereotypes of the
Madurese. Bab tersebut ditulis berdasarkan catatan, laporan, jurnal, dan
laporan besar yang ditulis pada era kolonial Belanda di Indonesia. Stereotipe
yang telah dikumpulkan itu pada intinya menunjukkan bahawa orang Madura selalu
dipandang negatif oleh orang luar khususnya orang Jawa.
Salah satu
aspek yang menjadi inti dalam stereotipe tentang orang Madura ialah mengenai
ciri-ciri fisik yang dapat dilihat dan diperbandingkan khususnya dengan orang
Jawa dan orang Sunda. Berdasarkan tulisan oleh Veth pada 1907 dan pada tahun
Surink 1933, lelaki Madura telah digambarkan sebagai kasar, lebih kurus atau
cengkung, berkulit kasar atau gagah dan mempunyai tubuh yang kuat. Mereka
mempunyai ketinggian antara 160 cm hingga 170 cm, lebih kecil atau sama
seperti, tetapi tidak pernah lebih besar berbanding tubuh individu masyarakat
sekitarnya (De Jonge, 1995).
Menurut De Jonge (1995: 9), catatan oleh Van Gelder pada
tahun 1899, Veth pada tahun 1907 dan Van Gennep pada tahun 1921, menggambarkan
perbedaan ciri-ciri lelaki Madura berbanding orang Jawa. Orang Madura lebih
tegap dan berotot tetapi tubuhnya tidak tinggi, wajahnya lebih lebar dan tidak
halus, tulang pipinya menonjol keluar dan kelihatan kasar. Wajah lelaki Madura menunjukkan ‘sifat kejam’ dan mempunyai tulang
tengkorak yang berat, ciri-ciri wajah yang lebih menonjol, berotot, kurang halus, mencerminkan
keberanian dan kasar, serta kurang tampan. Lelaki Madura di wilayah timur
kelihatan seperti kaum barbar, berambut panjang, dan lazimnya mempunyai misai
dan janggut yang lebat. Pada tahun 1894, Esser yang merupakan seorang pendeta
Belanda telah merumuskan bahawa lelaki Madura di Sumenep sering kali kelihatan
‘biadab’ (De Jonge, 1995: 10).
Segi
lain sifat orang Madura yang sering ditekankan adalah kecepatannya tersinggung sering
curiga, pemarah, berdarah panas, beringas, pendendam, suka berkelahi dan kejam.
Jika orang Madura dipermalukan, dihunusnya belati dan dengan segera membalas
dendam hinaan yang diterimanya, atau menunggu sampai kesempatan dating untuk
membalas dendam. Perkelahian, carok, dan pembunuhan merupakan suatu yang biasa
terjadi setiap hari kalu orang mau memercai stereotype ini. Orang menduga bahwa
‘hutang nyawa dibayar nyawa’ diberlakukan secara luas (de java post 1911,9-22: 345) bahkan hianaa kecil dijawab dengan
pisau (Wop dalam Zuhdi, 2012).
Ironisnya,
stereotipe orang Madura yang terdengar di Indonesia saat ini tidaklah berbeda banyak dengan yang
diungkapkan orang di zaman kolonial Belanda, sekalipun pandangan dan nadanya
yang keras, memojokkan, dan terkadang penuh prasangka rasial sudah sedikit menghilang. Terutama dalam berita dan cerita
tentang carok yang semakin diperbesar, orang Madura masih tetap digambarkan
sebagai seorang macho, keras kepala,
petarung bersenjata tajam, pendendam, pendeknya, orang yang sangat berbahaya.
Disamping sifat yang serba negative itu orang Madura juga
diakui memiliki karakter positif. Sebagai sifat-sifat positif pribadi orang
Madura ditonjolkan keberanian, kegagahan, kepetualangan, kelurusan, ketulusan,
kesetiaan, kerajinan, kehematan, keceriaan, kesungguhan, dan rasa humor. Akan
tetapi sifat-sifat itu selalu dibayang-bayangi oleh kejelekan. Lagipula
sifat-sifat baik ini hanya muncul dan berkembang dalam keadaan tertentu,
seperti bilamana lingkungan berada dalam keadaan damai, teratur, ketat
terpinpin, dan berpanduan. Seseorang juga diminta untuk tidak terkelabuhi oleh
sifat-sifat positif tersebut : menghadapi orang Madura seseorang hendaklah
selalu waspada.
Dibandingkan dengan orang jawa yang dianggap bersifat “petani,
bandefenter mencirikan orang Madura sebagai nelayan/laut, karena ia lebih
mempunya nyali, dan lebih Banyak keinginan untuk berpetualang. Ia juga lebih
liar dan tidak sabar bila di bandingkan dengan kepasrahan untuk berserah diri
orang.
Petrus (dalam Sukimi, 2012) mempertentangkan rasa keinginan
orang Madura untuk bebas merdeka, serta kebringasan dan kerja kerasnya, dengan
sifat kesopanan, ketidak beranian dan kepasifan orang jawa. Dalam de java post (dalam Sukimi, 2012) orang
Madura di katakana sebagai” orang dengan harga diri” yang lebih suka jujur
berterus terang, dan mereka sangat benci untuk duduk-duduk membuamg waktu.
Disamping rajin dan kuat, orang Madura juga di gambarkan
selalu bersungguh-sungguh, hemat serta irit, dah bahkan kikir. Menurut mitis
(1903) sifat hemat akan membuatnya mau berjalan kaki jauh sekali.akibat selalu
menyisihkan sebagian penghasilannya, orang Madura di jawa timur berhasil
mendesak orang jawa dari tanah tanah subur yang lebih baik (vandelder dalam Sukimi,
2012).
Sifat pelurusan hati dan kesetiaan orang Madura sangatlah
terkenal. Orang umumnya berpandangan bahwa jika di tegaskan tempat mereka
berada, terus pegang dan hormati kenyataan itu, serta perlakuan mereka secara
adil, orang Madura tidaklah merupakan orang yang sulit. Orang Madura terkenal
sebagai orang yang dapat di pegang perkataan dan umumnya teguh memegng janjinya
(surink dalam Sukimi, 2012).
Stigma dan
stereotipe tentang suatu hal muncul dan bertahan terutama karena miskinnya
informasi dan klarifikasi. Stereotipe yang bertahan sedemikian lama pada satu
sisi menunjukkan bahwa suasana komunikasi sosial yang ada cukup tidak sehat.
Dengan kata lain, iklim komunikasinya keruh, tidak jernih. Bila yang terjadi
demikian, dan itu menyangkut sekelompok masyarakat (baik etnis, golongan, atau
mungkin agama), maka pergaulan sosial akan gampang memunculkan prasangka yang
pada satu saat dapat mudah memicu konflik, dari skala paling kecil hingga yang
lebih masif.
Ketika
stereotipe dibuat, ia juga dibumbui oleh sederet penilaian.Ironisnya, bukan
penilaian yang penuhkebijaksanaan, melainkan penilaian yang bias dengan
prasangka. Di sini, penalaran jarang sekali berperan bila seseorang memandang
kelompok orang lain. Citra yang dimiliki oleh sekelompok orangdengan kelompok lainnya
sering didasarkan pada kriteria, emosi dan perasaan. “Jika seseorang tidak tahu
apa-apa tentang orang lain, pada aras primitif peradaban, semua kendali belum terbentuk.
Dengan demikian, dasar yang dipakai adalah rumor, sehingga rasa takut akan
meraja lela, cemooh, benci, cemas dan kagum. Akibatnya, timbullah citra khayalan
yang paling menakjubkan dan mengerikan. (Mien dalam Harisudin, 2010).
Stereotipe, oleh
karenanya, merupakan “suatu pendapat yang secara relatif mantap yang bersifat
perampatan atau generalisasi dan evaluative. Stereotipe mencoba untuk membuat penilaian
tidak terperinci tentang sekelompok orang yang sampai tingkat tertentu dapat
disebut dengan tipe. Pencirian dalam stereotipe biasanya sangat tidak mendalam,
dan hanya menonjolkan sifat-sifat yang menjelekkan.
B.
Eksistensi Blatèr di Madura
Blatèr merupakan
wajah yang sesungguhnya dari masyarakat Madura, sebelum Madura di “make up”
oleh berbagai kultur dominan yang merambahnya. Blatèr
sebuah julukan terhadap Masyarakat Madura yang pada intinya adalah Sesepuh
Masyarakat sekitar. Tidak semua orang bisa disebut blatèr, hanya orang-orang
tertentu yang bisa dijuluki dengan kata ini. Maka bisa dikatakan juga nama Blatèr
adalah sebuah penobatan dari Masyarakat di mana belater itu berada. Sebuah
penobatan blater tentunya bermacam-macam, ada yang menobati karena
kewibawaannya, ada juga karena karena kabengallah
(keberaniannya). Bagi Masyarakat Madura blatèr merupakan salah satu tokoh
terpenting selain dari pada pemimpin yang formal maupun nonformal (kyai).
Istilah blatèr hanya popluer di
Madura bagian barat (Bangkalan dan Sampang) sedangkan di Madura bagian timur
(Sumenep dan Pamekasan) lebih dikenal istilah bajingan, meskipun sebenarnya
kedua istilah tersebut tidak sepenuhnya sama. ada
tingkatan dan kelas tersendiri yang membedakan pengertian bajingan dengan blatèr.
Potret bajingan lebih kental bermain pada dunia hitam dan memiliki perangai yang
kasar dan keras sedangkan blatèr
sekalipun dekat dengan kultur kekerasan dan dunia hitam, namun perangai yang
dibangun lebih lembut, halus dan memihki keadaban. Di kalangan mereka sendin
dalam mempersepsikan diri, blatèr adalah bajingan yang sudah naik kelas atau
naik tingkat sosialnya (Rozaki, 2012).
Blatèr atau yang
dikenal dengan sosok jagoan yang biasanya memiliki pengaruh ditingkat desa,
atau beberapa desa, bahkan hingga kecamatan. Ia memiliki pengaruh karena
dianggap dapat menjaga keamanan dan ketentraman lingkungan desa dari gangguan
tindak kriminalitas. Sosok blatèr kerap kali dianggap sebagian penduduk desa
sebagai “kesatria” lokal yang memiliki jaringan pertemanan yang luas. Untuk
menjalin pertemanan yang luas, bahkan sampai lintas kabupaten, Blatèr banyak
memiliki media untuk merawat komunikasi itu. Remoh, kerapan sapi,
sabung ayam, dan sandur adalah media yang tidak saja merajut komunikasi, tetapi
juga menjadi ruang bagi kalangan blatèr menakar harga diri, bahkan menaikkan
status sosialnya. Bahkan untuk menunjukkan gengsi kejantanannya, banyak pula kalangan
blatèr yang menikahi beberapa perempuan. Melalui remoh itulah pertemuan
informal kalangan blatèr dilangsungkan. Kalangan blatèr dapat saling
mempertukarkan segala informasi, khususnya raport kriminalitas yang
terjadi didaerahnya masing masing. Bagi blatèr yang daerah kekuasaannya minim
akan tindak kriminalitas, maka prestisnya dikalangan blatèr lainnya akan
meningkat. Sebab dipersepsi blatèr yang bersangkutan benar benar dihormati dan
memiliki kewibawaan dimata warganya.
Historisitas atau fenomena sejarah keblatèran dalam banyak
hal seringkali merujuk pada sosok jagoan sebagai orang kuat di masyarakat
pedesaan. Tak heran bila konstruksi tentang keblatèran sangat terkait pula
dengan konstruksi jagoanisme di dalam masyarakat. Blatèr adalah sosok orang
kuat di Madura, baik secara fisik maupun magis dan biasanya dikenal memiliki
ilmu kebal, pencak silat atau ilmu bela diri. Seorang jago/blatèr dapat dengan
mudah mengumpulkan pengikut, anak buah dengan jumlah yang cukup besar. Meskipun
besaran jumlah pengikutnya sangat tergantung atas kedigdayaan ilmu (kekerasan)
yang dikuasainya. Sosok jago atau blatèr yang sudah malang melintang di dunia
kekerasan, dan namanya sudah sangat tersohor karena ilmu kesaktianya akan
menambah kharisma dan kekuatannya untuk mempengaruhi banyak orang.
Bila dilihat dari asal usul sosial (social
origin) dengan mengacu pada sistem ekologis Madura, kemunculan
komunitas blatèr terkait pula dengan ekosistem tegalan dengan area tanah
pertanian yang tandus, gersang dan tidak produktif bagi sistem pertanian sawah.
Kondisi ini diperparah pula oleh adanya curah hujan yang sangat terbatas
membuat para petani Madura menghasilkan produk pertanian yang serba terbatas.
Kondisi ini secara langsung menciptakan kondisi kemelaratan dan kemiskinan di
kalangan warga desa. Lahan pertanian yang tidak memberikan keuntungan ekonomis
disertai peningkatan jumlah penduduk yang cukup tinggi dari tahun ke tahun
menciptakan problem ekonomis yang cukup akut. Kondisi ini tak jarang membuat
orang Madura mengambil pilihan untuk migrasi sebagai solusi yang dianggap
strategis guna memperbaiki masa depannya. Sekalipun pada kenyataannya migrasi
bukan pula jalan satu-satunya dalam perbaikan nasib atau cara untuk dapat
bertahan hidup (survival of life). Cara lain yang oleh
sebagian anggota masyarakat dipandang sebagai cara atau jalan “hitam” adalah
dengan menjadi bandit atau blatèr. Kondisi awal keblatèran adalah cara bagi
anggota masyarakat untuk bertahan hidup akibat kemiskinan yang dideritanya.
Tindakan mencuri, bahkan terkadang dengan membegal (merampok) adalah gerak
spontan agar dapat bertahan hidup. Bahkan jalan pintas mengatasi kemiskinan
dapat dilakukan dengan menjadi bandit, preman dan sejenisnya. Meskipun
pengalaman ini tidak hanya terjadi di Madura semata (Rozaki, 2012).
C. Blatèr, Sekep (Senjata Tajam) dan Carok
Sekep atau senjata tajam dan kaum blatèr merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Sekep adalah senjata tajam yang biasanya dibawa kemanapun pergi
oleh orang Madura terutama kaum blatèr. Banyak jenis sekep yang umumnye mereka
bawa, namun yang paling popular dikalang orang Madura adalah clurit. Sekep
dalam pengertian umum ialah bentuk senjata yang biasa diselipkan dipinggang
sebagai jaminan keselamatan hidup bagi pemakainya. Dan sekep ini bukan hanya
menjadi jaminan di perjalanan. Saat tidur atau saat-saat tertentu sekep juga
tidak lepas dari sisi (bagian) pemiliknya. Senjata yang disekep, ada beberapa
macam bentuk, biasanya bentuk senjata tajam yang mudah diselipkan dipinggang.
Baik berupa pisau, clurit, golok, keris dan atau sejenisnya. Maka tak heran
bila suatu ketika berpapasan dengan seseorang Madura, khususnya orang-orang
Madura yang hidup di pedesaan, akan tampak tonjolan kecil dibalik baju bagian
pinggang.
Pada dasarnya orang yang bersekep
atau “nyekep”, hanyalah semata-mata menjaga kemungkinan untuk lebih waspada
bila suatu ketika harus berhadapan dengan lawan maupun pada saat suasana
genting menghadapi ancaman disekitarnya. Dan sekep itu sendiri pada umumnya
dimiliki oleh kaum pria. Tapi tidak menutup kemungkinan, kaum wanitapun tak
lepas dari yang namanya sekep itu. Cuma bedanya, sekep bagi kaum wanita Madura
kerap disebut “patterm”, yaitu berupa konde yang diisi racun yang disusukkan
disanggul. Fungsinya pun sama, sebagaimana yang digunakan oleh kaum laki-laki,
yaitu untuk menjaga diri bila suatu ketika diserang oleh lawan atau penjahat
yang mengganggunya. Atau juga untuk berjaga-jaga dirumah bila suatu ketika sang
suami harus berlama-lama meninggalkan rumah.
Terlepas dari fungsi senjata
tajam bagi orang Madura yang tradisional dijadikan alat pengaman bagi dirinya,
juga mempunyai nilai tradisi turun temurun, bahwa lambing kejantanan bagi orang
Madura terletak bagaimana kemantapan dan ketegaran dirinya tatkala mereka
bersekep dipinggangnya. Untuk itu dalam masyarakat Madura lalu timbul pemeo,
bila seorang laki-laki tidak “nyekep”, tak lebih dari seorang banci. Begitu berharganya keberadaan senjata tajam
ditunjukkan juga melalui ungkapan orang Madura ”Are’ kancana shalawat” (celurit
merupakan teman sholawat). Bagi seorang muslim memang dianjurkan untuk selalu
membaca sholawat pada setiap kesempatan tak terkecuali jika hendak bepergian.
Ungkapan ini menunjukkan bahwa orang Madura merasa tidak cukup hanya berlindung
kepada agama/Tuhan saja, sehingga dibutuhkan senjata tajam sebagai sarana
melindungi dan mempertahankan diri.
Carok dan
celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa dipisahkan. Celurit
yang telah digunakan dalam praktek carok biasanya disimpan oleh keluarganya sebagai
benda kebanggaan keluarga. Lumuran darah yang menempel pada celurit tetap
dibiarkan sebagai bukti eksistensi dan kapasitas leluhur mereka sebagai orang
jago (blatèr) ketika masih hidup. Celurit ini nantinya akan diwariskan secara
turun-temurun kepada anak laki-laki tertua. Hal ini menunjukkan bahwa celurit
merupakan simbol dari proses sejarah peristiwa carok yang dialami leluhur
mereka. Simbol ini mengandung makna bukan hanya sekedar penyimpanan memori
melainkan lebih sebagai media untuk mentransfer kebanggan kepada anak cucu
karena menang carok dan kebanggan sebagai keturunan blatèr.
Celurit bagi kaum blatèr sangat penting artinya baik
sebagai sekep maupun sebagai pengkukuhan dirinya sebagai oreng jago. Nyekep
merupakan kebiasaan yang sulit ditinggalkan oleh kebanyakan laki-laki Madura,
khususnya di pedesaan. Pada segala kesempatan mereka tidak lupa untuk membawa
senjata tajam terutama ketika sedang mempunyai musuh atau menghadiri acara
remo. Cara orang Madura nyekep celurit biasanya berbeda
dengan jenis senjata tajam lainnya. Celurit biasanya diselipkan di bagian
belakang tubuh (punggung) dengan posisi pegangan berada di atas dengan maksud
agar mudah dikeluarkan (digunakan). Senjata tajam sudah dinggap sebagai
pelengkap tubuh atau telah menjadi bagian dari tubuh laki-laki madura khususnya
kaum blatèr. Hal ini ditunjukkan dengan adanya anggapan dari kaum laki-laki
Madura bahwa senjata tajam selalu dibawa kemana-mana untuk melengkapi tulang
rusuk laki-laki bagian kiri yang kurang satu.
Senjata Clurit ini melegenda sebagai senjata yang
biasa digunakan oleh tokoh bernama Sakera. Masyarakat Madura biasanya
memasukkan khodam, sejenis makhluk gaib yang menempati suatu benda, ke dalam
celurit dengan cara merapalkan doa-doa sebelum carok. Walaupun demikian, pada
dasarnya fungsi utama senjata ini merupakan salah satu dari alat pertanian yang
umumnya digunakan untuk menyabit atau menebas gulma atau rumput disawah.
Celurit diyakini
berasal dari legenda Sakera, seorang mandor tebu dari Pasuruan yang menjadi
salah satu tokoh perlawanan terhadap penjajahan belanda pada abad 18 M. Ia
dikenal tak pernah meninggalkan celurit dan selalu membawa/mengenakannya dalam
aktivitas sehari-hari, dimana saat itu digunakan sebagai alat
pertanian/perkebunan. Ia berasal dari kalangan santri dan seorang muslim yang
taat menjalankan ajaran agama Islam.
Sakera melakukan perlawanan atas penidasan penjajah. Setelah ia tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur. Ia kemudia dimakamkan di Kota Bangil. Atau tepatnya di wilayah Bekacak, Kelurahan Kolursari, daerah paling selatan Kota Bangil (Krishna, 2012).
Sakera melakukan perlawanan atas penidasan penjajah. Setelah ia tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur. Ia kemudia dimakamkan di Kota Bangil. Atau tepatnya di wilayah Bekacak, Kelurahan Kolursari, daerah paling selatan Kota Bangil (Krishna, 2012).
Senjata celurit
ini sengaja diberikan Belanda kepada kaum blatèr dengan tujuan merusak citra
Pak Sakera sebagai pemilik sah senjata tersebut. Karena beliau adalah seorang
pemberontak dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama
Islam. Celurit digunakan Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata
terhadap penjajah Belanda.Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai
senjata para jagoan dan penjahat. Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil
merasuki sebagian masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya. Bahwan kalau
ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu
menggunakan kebijakan dengan jalan Carok. Alasannya adalah demi menjunjung
harga diri. Istilahnya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya,
lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu.Tidak heran jika terjadi
persoalan perselingkuhan dan perebutan tanah di Madura maupun pada keturunan
orang Madura di Jawa dan Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan Carok
perorangan maupun secara massal. Senjata yang digunakan selalu celurit.
Bagi blatèr, terutama
blatèr keni’ (kecil/pemula) setiap bepergian baik siang terlebih malam harus
membawa clurit. Clurit bagi
orang Madura, khususnya blatèr ibarat pakaian yang tak mungkin dipisahkan dari
tubuh. Clurit dibawa oleh kalangan blatèr sebagai alat pertahanan diri. Blatèr
memang tak memiliki sifat agresif untuk menyerang. Mereka tak akan melakukan
hal hal yang terkait dengan kekerasan, seperti membunuh, jika tidak disinggung
harga diri dan keluarganya.
Berdasarkan bentuk bilahnya,
celurit dapat dibedakan menjadi : Clurit Kembang Turi dan Clurit Wulu
Pitik/Bulu Ayam. Sedangkan ukuran clurit dikenal dengan ukuran 5 (paling kecil)
sampai ukuran 1 (paling besar) Umumnya clurit memiliki hulu (pegangan/gagang)
terbuat dari kayu, adapun kayu yang digunakan cukup beraneka ragam, di
antaranya kayu kembang, kayu stingi, kayu jambu klutuk, kayu temoho, dan kayu
lainnya. Pada ujung hulu terdapat tali sepanjang 10-15 cm yang berguna untuk
mennggantung/mengikat clurit. Pada bagian ujung hulu biasanya terdapat
ulir/cerukan/cungkilan sedalam 1-2 cm.
Sarung clurit terbuat dari
kulit, biasanya berasal dari kulit kebo yg tebal atau kulit sapi serta kulit
lainya. Sarung Kulit dibuat sesuai dengan bentuk bilah yang melengkung, dan
memiliki ikatan pada ujung sarung dekat dengan gagang sebagai pengaman. Sarung
clurit hanya dijahit 3/4 dari ujung clurit, agar clurit dapat dengan mudah dan
cepat di tarik/dicabut dari sarungnya. Umumnya sarung dihiasi dengan
ukiran/ornamen sederhana.
Bilah Clurit menggunakan
berbagai jenis besi, untuk yang kualitas bagus biasanya digunakan besi
stainless, besi bekas rel kereta api, besi jembatan, besi mobil. Sedangkan
untuk kualitas rendah menggunakan baja atau besi biasa. Bilah Clurit memiliki
ikatan yang melekat pada gagang kayu serta menembus sampai ujung gagang. Sebagaian
dari clurit juga dibuat ulir setengah lingkaran mengikuti bentuk bilahnya.
Terkadang pada bilahnya terdapat ornamen lingkaran sederhana..
Sebelum mengerjakan sebilah
celurit, Pandai besi biasa berpuasa terlebih dahulu. Bahkan saban tahun,
tepatnya pada bulan Maulid, dilakukan ritual kecil di bengkel pandai besi.
Ritual ini disertai sesajen berupa ayam panggang, nasi dan air bunga. Sesajen
itu kemudian didoakan di mushala. Baru setelah itu, air bunga disiramkan ke
bantalan tempat menempa besi. Diyakini Kalau ada yang melanggar (mengganggu),
ia akan mendapatkan musibah sakit-sakitan. Hingga kini, tombuk atau bantalan
menempa besi pantang dilangkahi terlebih diduduki oleh orang.
Hal pertama yang selalu
dilakukan dalam pembuatan, adalah memilih besi yang diinginkan. Untuk clurit
berkualitas terbaik digunakan besi rel atau besi mobil/jeep. Batangan besi
pilihan itu tersebut kemudian dibelah dengan ditempa berkali-kali untuk
mendapatkan lempengannya. Setelah memperoleh lempengan yang diinginkan, besi
pipih itu lantas dipanaskan hingga mencapai titik derajat tertentu.
Logam yang telah membara itu
lalu ditempa berulang kali sampai membentuk lengkungan sesuai dengan jenis
celurit yang diinginkan. Penempaan dilakukan dengan ketelitian. Setelah
mencapai kelengkungan yang diinginkan, clurit digerinda dan dihaluskan
bilahnya. Setelah dimasukkan/ditancapkan ke gagang yang telah disiapkan
terlebih dahulu. Dan diteruskan dengan memberikan ikatan tali pada gagang
tersebut. Terakhir, bilah yang sudah jadi dibuatkan sarungnya dengan
menggunakan kulit kebo/sapi dan telah diukir/tatah, dimana ukurana sarung
disesuaikan dengan bentuk bilah tersebut. Untuk membuat clurit yang berkualitas
terbaik membutuhkan waktu 2 sampai 4 minggu.
Blatèr dan senjata tajam
merupakan dua hal yang sulit dipisahkan, dalam kesehariannya terutam bila
keluar rumah, kaum blatèr ini akan membawa senjata tajam kemana-mana. Jenis
senjata tajam yang mereka bawa, saat ini tidak hanya terbatas pada celurit
seperti jaman dulu. Jenis senjata tajam yang mereka bawa diantaranya adalah
pisau, dipilihnya pisau sebagai senjata tajam yang dibawa dalam kesehariannya
adalah dengan pertimbangan senjata ini tidak mencolok ketika disimpan dibalik
baju.
Pergeseran penggunaan senjata
celurit menjadi senjata jenis lain seperti pisau adalah sebagai pengaruh dari
penegakan hukum yang berlaku di Indonesia. Jika dahulu para blatèr dengan bebas
membawa senjata tajam seperti celurit atau calok dengan disimpan di balik baju
ataupun ditenteng terang-terangan, namun seiring perkembangan jaman dan
penegakan hukum, hal tersebut tidak dapat dilakukan lagi. Oleh karena itu saat
ini kaum blatèr menggunakan senjata tajam yang lebih kecil untuk dibawa di
balik baju dengan pertimbangan agar tidak terlalu mencolok. Bahkan dalam
perkembangannya saat ini, tidak jarang mereka membawa senjata api. Namun
demikian keseharian dari kaum blatèr itu tidak dapat dilepaskan dari penggunaan
senjata apapun itu jenisnya karena dunia mereka umumnya dekat dengan kekerasan
atau carok.
Keterlibatan orang Madura dalam
carok sangat menentukan tingkat keblateran seseorang di Madura. Seseorang yag
dijuluki blater hampir dipastikan dia pernah terlibat dalam carok. Semakin dia
banyak mengalami peristiwa carok, maka makin tinggi tingkat keblaterannya
apalagi jika ditambah dengan track record seberapa banyak dia pernah membunuh orang. Semua kasus
Carok diawali oleh konflik,
meskipun konflik tersebut dilatar belakangi oleh permasalahan berbeda (kasus
masalah perempuan, kasus lainnya tuduhan mencuri, perebutan warisan, pembalasan
dendam), semuanya mengacu pada akar yang sama, yaitu perasaan malo karena pelecehan harga diri (martabat).
Untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan, mereka melakukan Carok, yang ternyata selalu mendapat dukungan
dari lingkungan sosial. Apapun cara
Carok yang dilakukan, semua pelaku Carok yang berhasil membunuh musuhnya
menunjukkan perasaan lega, puas, dan bangga. Pengertian harga diri (martabat)
dalam dalam kaitannya dengan perasaan malo yang ditimbulkannya ketika terjadi
pelecehan, kedua hal ini merupakan faktor pemicu utama orang Madura melakukan
Carok, selain faktor lainnya ( Latief, 2002: 147).
Malo muncul sebagai akibat dari perlakuan orang
lain yang mengingkari atau tidak mengakui kapasitas dirinya. Orang Madura yang
diperlakukan seperti itu sama artinya dengan dilecehkannya harga dirinya.
Mereka kemudian akan selalu melakukan tindakan perlawanan sebagai upaya untuk
memulihkan harga diri yang dilecehkan itu. Tindakan perlawanan tersebut
cenderung sangat keras (dalam bentuk ekstrim adalah pembunuhan). Suatu ungkapan
yang berbunyi ango’an poteya tolang
etembang poteya mata (lebih baik mati
daripada harus menanggung perasaan
malo) memberi indikasi sangat
kuat tentang hal itu.
Oleh karena kerelibatan blater
dalam peristiwa carok ataupun pembunuhan inilah maka ketika keluar rumah mereka
akan mebawa sekep. Selain itu persaingan atau pertikaian yag kerap terjadi
antara para blater ataupu antara blater dengan para bajingan atau bromocorah
juga yag meyebabkan para blater kemana-mana selalu membawa sekep. Sehingga
tidak heran bila mereka kemanapun pergi akan selalu membawa sekep selain sebagai persiapan menghadapi musuh
juga sebagai simbol kesiapan mereka menghadapi carok.
D.
Eksistensi Blatèr Terhadap Remoh
(To’ Oto’)
Kehidupan Blatèr di Madura juga juga
tidak dapat dipisahkan dengan tradisi remoh (to’ oto’). Tradisi remo (arisan kaum blatèr)
merupakan institusi budaya pendukung dan pelestari eksistensi carok. Remoh
berfungsi ganda, sebagai tempat transaksi ekonomi, sekaligus penguatan status
sosial. Juga merupakan sarana untuk membangun jaringan sosial di kalangan blatèr.
Remoh bisa mengumpulkan uang dalam jumlah besar dalam tempo semalam. Pada
awalnya tradisi ini berfungsi sebagai media kumpul-kumpul atau perkumpulan
dalam rangka mengumpulkan saudara satu kampung yang diisi dengan acara saling
membantu satu dengan yang lain lewat sumbangan duit semacam arisan yang
merupakan pengikat dari kumpulan ini.
Pada awalnya budaya ini cukup efektif
dan mampu meredam Carok. Karena apabila terjadi carok antara satu dengan yang
lain, atau antara desa satu dengan yang lain, maka masing-masing tetuah blatèran
dari otok-otok tersebut akan berkumpul dan bermusyawarah untuk mencari
penyelesaian soal carok tersebut. Dan terbukti banyak bermanfaat.
Sayangnya kegiatan ini kemudian
bergteser dan bahkan terkadang muncul permasalahan baru. Yakni bagi mereka yang
punya utang dari arisan tersebut, bisa timbul carok. Dan ini terjadi dibeberapa
kasus. Bahkan tak jarang dari anggota tersebut kemudian kabur menjadi TKI.
Celakanya lagi, sang tetuah yang mestinya sebagai penengah, akan ikut-ikutan
memburu anggota yang mangkir tersebut. Inilah yang kemudian membingungkan.
Karena yang berkembang kemudian, perkumpulan tersebut bukan sebuah ajang yang
baik dan bisa jadi penengah, namun justru sebaliknya menambah permasalahan
baru.
Di Madura ada tradisi remo berfungsi sebagai
ajang berkumpulnya para jagoan atau blatèr dari seluruh wilayah baik dalam
lingkup desa sampai lingkup Kabupaten ataupun antar kabupaten di Madura.
Sebagai sebuah tradisi, remoh sudah menjadi institusi sosial dan budaya yang
bisa mendatangkan keuntungan ekonomi bagi pesertanya. Tidak hanya manfaat
memperoleh keuntungan ekonomi, tapi remoh juga menjadi ajang yang sangat
prestisius bagi blatèr. Secara kultural, remoh sebagai media “persaingan” untuk
memperoleh pengakuan sosial bagi blatèr dalam masyarakat.
Melalui remoh
itulah pertemuan informal kalangan blatèr dilangsungkan. Kalangan blatèr dapat
saling mempertukarkan segala informasi, khususnya raport kriminalitas
yang terjadi didaerahnya masing masing. Bagi blatèr yang daerah kekuasaannya
minim akan tindak kriminalitas, maka prestisnya dikalangan blatèr lainnya akan
meningkat. Sebab dipersepsi blatèr yang bersangkutan benar benar dihormati dan
memiliki kewibawaan dimata warganya. Melalui remoh, kalangan blatèr berlomba
lomba memberikan materi kepada blatèr yang mengadakan remoh tersebut. Dan
setiap pemberian uang itu diumumkan secara terbuka layaknya transaksi dalam
lelang. Bagi blatèr yang sanggup memberikan uang paling banyak, maka
ia akan ditempatkan pada posisi yang tinggi di kalangan blatèr lainnya.
Pada remoh jumlah tamu yang datang bisa mencapai
ratusan orang dari pelosok kabupaten, bahkan tidak jarang dari luar kabupaten.
Sedangkan pada to’oto’ biasanya hanya mencapai puluhan orang saja karena
undangan yang disebar hanya pada lingkungan yang terbatas. Keduanya sama-sama
bermaksud dan tujuan pelaksanaan tradisi ini yaitu untuk “menyelamati badan
sekeluarga”atau “menyelamati badan sendiri”.
Remoh pada prinsipnya merupakan ajang
berkumpulnya para orang jago dan blatèr
dari seluruh desa. Melalui tradisi ini, mereka dapat memperkenalkan
kapasitas dirinya sekaligus akan memperoleh pengakuan secara social dari
khalayak yang lebih luas.
Seorang jago yang ikut dalam anggota remoh serta merta
menjadi orang blatèr. sebaliknya orang blater sudah pasti ikut rèmo,
namun belum tentu sebagai seorang jago. Begitu seseorang sudah diakui
sebagai seorang jago atau blatèr, biasanya satatusnya diperlakukan sebagai
tokoh informal yang disegani, bahkan ditakuti, bahkan semua orang yang ada
dilingkungannya menjadi pengikutnya.
Secara ekonomi tradisi ini merupakan suatu sarana bagi
pesertanya untuk mengumpulkan uang dalam jumlah yang relatif besar hanya dalam
jangka waktu semalam. Semua itu tergantung pada uang bhubuwan , yaitu
jumlah uang yang pernah diserahkan kepada anggota yang lain. semakin besar
jumlah uang bhubuwan, semakin besar pula jumlah uang yang kembali. Uang
yang telah diserahkan pada prinsipnya adalah simpanan yang baru dapat dinikmati
jika kelak dia sendiri menyelenggarakan rèmoh. Menurut aturan tidak
tertulis yang telah disepakati, jumlah uang yang kembali harus lebih tinggi
dari pada yang pernah diterimanya.
Syarat untuk mejadi anggotanya adalah mempunyai kemampuan
secara ekonomi dan bertanggung jawab. Calon anggota harus mendaftar pada koordinator.
Ia adalah yang pertama yang mencatat semua orang yang menjadi peserta rèmoh,
bertanggung jawab membayarkan bhubuwan bagi anggotanya yang tidak dapat
menghadiriremohkarena kebetulan tidak memiliki uang, menyebarluaskan undanganremohke
seluruh anggota. Remoh selalu diadakan pada malam hari mulai pukul
22.00 dan berakhir sekitar pukul 5.00 pagi keesokan harinya. Biasanya
ditempatka di halaman rumah.
Hampir semua tamu yang datang menggunakan pakaian
adat Madura yang disebut pèsa yaitu baju berlengan panjang dengan warna
hitam dan tidak berkancing yang biasanya dipadukan dengan gombor , yaitu
celana longgar warna hitam pula. Dibalik baju pèsa terlihat kaos dengan
warna corak belang-belang mendatar antara warna merah dan putih (bermakna
seakan mereka hendak memamerkan dadanya yang bidang sebagai ciri
kejantanannya). Para tamu yang masuk dengan membawa senjata tajam wajib menaati
aturan yang tidak tertulis yang sudah disepakati bersama sebagaimana telah
disinggung dimuka. Aturan-aturan ini antara lain jika anggota membawa celurit
makaa harus dipegang oleh tangan kiri dengan posisi terbalik, pada saat duduk
bersilah celurit harus diletakkan persis dibawah persilangan kaki dengan posisi
mengahadap ke badan sedangkan posisi pegangannya harus berada disisi
kiri. Jika membawa pisau, harus juga dalam keadaan terbungkus slothong.
Yang harus diselipkan persis di bagian muka perut dan terlihat jelas oleh tamu.
Dan pada duduk bersila, pisau harus bersila pisau harus diambil kemudian
diletakkan di persilangan kedua kaki dan posisinya dan posisinya harus
menghadap tubuhdan pegangan berada disisi kiri. Aturan itu harus ditaati semua
tamu tanpa terkecuali.jika tidak maka akan terjadi keributan hingga akhirnya
carok tidak terhindarkan.
Adakalanya remoh dikaitkan
dengan peristiwa carok, bisanya disebut remoh carok yang dengan sengaja
diselenggarakan oleh peserta yang kebetulan dirinya atau anggota keluarganya
terlibat peristiwa carok dan berhasil membunuh musuhnya. Selain ada remoh carok,
ada pula aktivitas keagamaan yaitu tahlilan carok. Pelaksanaannya dilakukan
seminggu atau beberapa hari sebelum carok terjadi dan sifatnya sangat rahasia
sehingga hanaya dihadiri keluarga terdekat saja. Tahlilan ini khusus ditujukan
pada musuh yang akan dihadapinya, dengan acara tahlilan biasa , dalam tahlilan
carok musuh sudah dianggap mati sebelum carok dilaksanakan. Dengan demikian
tahlilan carok megandung simbolisasi “upacara kemenangan” yang diyakini pasti
akan diraihnya.
Sebelum remoh dimulai semua
tamu harus mendaftarkan diri kepada petugas yang memang sudah disediakan oleh
pihak penyelenggara. Didalam bisanya mereka membuat kelompok-kelompok besar
yang terdiri dari tiga sampai empat rombongan yang beranggotakan 10 sampai 15
orang.
Keberhasilannya remoh diukur
dari seberapa banyak perolehan uang bhubuwan, juga diukur dari seberapa
banayak minuman bir dihabiskan oleh para tamu. Bir tersebut diminum dengan cara
bergiliran mengunakan satu gelas kecil. Jika habis, para tamu boleh menambah
dengan cara membeli dengan urunan. Jika mereka semakin mabuk, ada kesan
semakin banggalah dia karena semakin mempertegas predikatnya sebagai orèng
blatèr.
Setiap tamu diberi kesempatan menari sekali lagi selama 15
menit,setelah itu barulah dimulai acara pemanggilan para tamu dengan cara
seperti orang yang berteriak oleh tukang panggil yang maju ke area tari. Yang
pertama dipanggil adalah ketua rombongan atau Koordinator. Setelah itu barulah
anak buahnya. Ketika peserta dipanggil dia akan langsung menjawab “badal (ada).
Kemudian dimaju ke area tari, namun sebelumnya dia menuju ke tokang
catet, yaitu orang yang bertugas mencatatnama dan alamat tamu serta besaran
uang yang yang akan diserahkan. Setelah itu dia mulai menari dengan dua orang
penari laki-laki sambil menyelipkan lembaran-lembaran uang ke balik baju si
penari. Semakin banyak uang yang diselipkan, semakin bangalah ia karena
disaksikan banya tamu yang lain. Satu hal lagi yang menunjukkan dia sebagai orèng
blatèr. biasanya uang yang diselipkan nominalnya kecil , hal ini untuk
member kesan bahwa dia memiliki banyak uang, dan uang ini menjadi milik penari
sepenuhnya. Menurut informasi para penari sengaja menghias diri mereka layaknya
penari perempuan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kecemburuan antar
sesame anggota. Dengan demikian, terjadinya konflik yang berdimensi seksualitas
yang sangat potensial bagi terjadinya carok dapat dicegah. Saat menari,
setiap tamu menentukan sendiri jenis tarian dan gendingyang diinginkan.
Pada pukul 02.00 pada saat itulah digelar acara
wuwulan. Pada acara kedua ini tamu diberi kesempatan menari, namun tidak punya
kewajiban untuk menyerahkan uangkepada tuan rumah. Acara ini lebih
bersifat sebagai acara tambahan untuk bersenang-senang. Acara wuwulan ini
dapat pula dimanfatkan oleh tamu yang dating terlambat. Sehingga tidak
mengikuti acara yang utama karena menghadiri remoh lain. Biasanya, tamu yang
tergolong orang jago atau tokoh, tidak hanya menghadiri remoh disatu
tempat saja pada malam yang sama. Setelah acara wuwulan selesai maka selesailah
pula acara remoh secara keseluruhan.
Identitas kaum blater di Madura dicirikan dengan
keberanianya atau keterlibatannya dalam carok dan konflik atau persaingan
dengan blater lainnya atau dengan bromocorah. Sehingga dalam kesehariannya
ketika keluar rumah selalu membawa senjata atau sekep. Sekep ini sebagai sarana mempertahankan diri ataupun sebagai
simbol kesiapannya menghadapi musuh. Ciri lain dari para blater ini juga
diwujudkan dalam keterlibatannya dalam remoh
atau to’ oto’. Keterlibatannya dalam
remoh ini sebagai simbol dirinya memilki pergaulan yag luas sekaligus sebagai
simbol kemapanan ekonominya. Karena keblateran seseoran di Madura juga
dipandamg dari kestabilan atau kedudukan ekonominya. Dalam remoh seorang blater
dapat menunjukkan kemampuan ekonominya dari jumlah bhubuwan yang dia bisa berikan kepada pihak tuan rumah, sedangkan
bagi pihak tuan rumah atau penyelenggara remoh
ditunjukkan dengan seberapa besar perolehannya atau bhubuwan tamu padanya.
E. Karapan
Sapi Sebagai Ajang Keblateran
Kerapan sapi
merupakan momen spesial bagi kalangan blater di Madura. Biasanya kotestasi
hewan yang berupa balapan sapi ini merupakan ajang bagi para blater untuk
mempertaruhkan harga diri dan gengi sosial. Oleh karena tak ingin dipermalukan,
maka blater biasanya memberikan tempat yang begitu istimewa bagi sapi sapi
mereka. Berbagai trik dan perawatan ekstra diberikan oleh kalangan blater kepada
sapi sapi yang dimilikinya agar dapat memenangkan pertandingan. Sapi kerap bagi blater adalah simbol kejantan
dan kemaskulinan para blater di Madura. Bagi blater yang sering memenangkan
kerapan sapi bukan semata mata mengorientasikan akan mendapatkan hadiah, tetapi
lebih dari itu adalah prestise sosial yang tinggi. Jika diperbandingkan antara
biaya perawatan sapi dengan hadiah yang diperoleh saat memenangkan perlombaan
dalam kerapan sangatlah tidak sebanding, hadiah bukan semata mata capaian utama
dari para peserta kirap, tetapi kehormatan sosial dia sebagai seorang blater.
Jadi kerapan sapi yang menjadi kegemaran para blater itu tak bersifat ekonomis..
Kerapan sapi
biasanya diorganisir sendiri oleh kalangan blater. Koordinator pelaksana
biasanya dipegang oleh blater yang berpengaruh dan memiliki kewibawaan dimata
para blater lainnya. Hal ini sebagai metode untuk mengantisipasi terjadinya
bentrok dikalangan blater saat kerapan dilangsungkan. Jika kerapan sapi
dikoordinatori oleh blater besar, maka sangat mungkin dapat berjalan tanpa
kericuhan. Arena kerapan sapi sangat rentan bentrok atau kericuhan jika
fasililator atau pelaksana tidak dipandang oleh kalangan blater yang menjadi
peserta kerapan. kerusuhan itu muncul kerapkali dipicu oleh putusan juri dalam
memberikan putusan bagi pemenang kerapan. Faktor yang berpotensial atas
kericuhan itu dikarenakan berdasar penglihatan tim juri dan simpatisan serta
peserta kerapan yang tidak sama terhadap injakan kaki sapi kerap terhadap garis
finish. Oleh karena itu, bagi para blater yang merasa dipecundangi atau
perbuatan tak adil oleh juri, maka tak segan segan untuk melakukan protes dalam
bentuk apapun termasuk juga carok. Bagi para blater yang menjadi peserta
kerapan sapi hal itu termasuk bagian dari pembelaan terhadap gengsi dirinya.
Kerapan sapi
yang juga sebagai ajang komunikasi antar blater bersifat fleksibel berdasar
kesepakatan para calon calon peserta kerap. Kerapan sapi tak harus sejalan
dengan hari hari besar yang diformalkan oleh negara. Karena kerapan sapi
sebagai ruang populis yang bebas dan egaliter, artinya siapapun diperbolehkan
mengikuti pertandingan ini tanpa pandang bulu dalam status sosialnya. Kalaupun
toh pemda menyelenggarakan kontestasi ini dengan alasan paket pariwisata atau
dalam rangka memperingati hari hari besar nasional, sejatinya pertunjukkan itu
tak ada bedanya dengan kebiasaanya pertunjukkan yang mereka lakukan sendiri,
yakni bebas dan egaliter sebagai syarat utama menuju puncak kemenangan. Dalam
setiap kerapan sapi, fasilitator atau panitia biasanya membatasi peserta
kerapan hingga 50 an peserta, dengan model pertandingan sistem gugur.
Bagi para blater
yang berhasil merebut kemenangan, terlebih dalam arena kerapan sapi yang
bergengsi, misalnya pada level kabupaten, maka sapi yang dimilikinya sangat
mungkin bernilai ratusan juta rupiah. Namun begitu, blater yang menjadi pemilik
sapi sangat mungkin tidak menjual sapi yang telah mengharumkan namanya itu.
Blater dan sapi adalah “dua sejoli” yang saling membutuhkan, jadi sebetulnya kalangan
blater membantah keras ungkapan dari sebagian ulama yang menyatakan bahwa
kerapan sapi adalah bentuk penyiksaan terhadap hewan dan itu dilarang oleh
agama. Jika kerapan sapi dipersepsi sebagai penyiksaan terhadap hewan, hal itu
tak sepenuhnya benar. Justru dalam banyak fakta terlihat mengenai hubungan
kasih sayang antara blater dan sapi kerap yang dimilikinya. Sebab dengan
layanan istimewa yang diberikan kepada sapi serta hubungan batin yang terjadi
antara blater dan sapi kerap yang dimilikinya adalah komunikasi dua makhluk
yang bersifat “resiprokal”.
Sementara bagi
para blater yang seringkali mengalami kekalahan dalam ajang kerapan sapi,
justru begitu bersemangat untuk berburu sapi kerap dengan kualitas prima. Salah
satu upaya yang biasa mereka lakukan adalah melobi sapi sapi yang sering
memenangkan perlombaan. Pada prinsipnya, para blater dengan rela merogoh
koceknya guna mendapatkan sapi idamannya, yakni yang mampu membawa tropi
kemenangan.
Keterlibatan
blater dalam setiap kegiatan karapan sapi ataupun kemampuannya menjadi
koordinator karapan sapi akan sangat menentukan tingkat kebalterannya. Kesuksesannya dalam
mengatarkan sapinya sebagai juara karapan ataupun kesuksesannya sebagai
koordinator karapan dalam menyelenggrakan kegiatan karapan sapi yang dapat
menarik banyak peserta serta dapat berlangsung dengan aman akan sangat
menentukan derajat keblaterannya. Jadi dapat dikatakan carok, remoh dan karapan
sapi merupakan dunia yang identik dengan kaum blater di Madura. Karapan sapi
ini juga menjadi ajang silaturahmi para blater dari berbagai daerah di Madura
ataupun blater yang ada di luar Madura, karena biasanya pada ajang karapan sapi
ini oaring-orang yang merantau keluar Madura akan mudik.
F. Identitas Fisik Kaum Blater
Masyarakat Indonesia mengenal
pakaian khas suku Madura dengan baju serba hitam dan kaos merah putih. Tetapi secara
umum suku Madura mengenal perbedaan busana berdasarkan usia, jenis kelamin,
status sosial
maupun kegunaannya, baik sebagai busana sehari-hari maupun untuk keperluan upacara.
Masyarakat umum mengenal pakaian khas Madura, yaitu hitam serba longgar dengan
kaos bergaris merah putih atau merah hitam, di dalamnya, lengkap dengan tutup
kepala dan kain sarung. Sebenarnya, pakaian yang terdiri dari baju pesa`an
dan celana gomboran ini merupakan pakaian pria untuk rakyat
kebanyakan, baik sebagai busana sehari-hari maupun sebagai busana resmi. Adanya
pengaruh cara berpakaian pelaut dari Eropa, terutama kaos bergaris yang
digunakan.
Dalam penggunaannya, baju pesa`an,
celana gomboran dan kaos oblong ini memiliki perbedaan fungsi bila dilihat dari
cara memakainya. Kalangan pedagang kecil, seringkali mempergunakan baju pesa`an
dan kaos oblong warna putih, dipadu dengan sarung motif kotak-kotak biasa.
Sebaliknya para nelayan, umumnya hanya menggunkan celana gomboran
dengan kaos oblong.
Jaman dahulu, masyarakat mengenal baju pesa`an dalam dua warna, yaitu hitam dan putih. Baju pesa`an biasanya dipakai oleh guru agama atau molang.
Jaman dahulu, masyarakat mengenal baju pesa`an dalam dua warna, yaitu hitam dan putih. Baju pesa`an biasanya dipakai oleh guru agama atau molang.
Pada masa sekarang, baju
pesa`an warna hitamlah yang menjadi ciri khas. Warna hitam ini melambangkan
keberanian. Sikap gagah dan pantang mundur ini merupakan salah satu etos budaya
yang dimiliki masyarakat
Madura. Garis-garis tegas merah, putih atau hitam yang terdapat pada kaos
yang digunakan pun memperhatikan sikap tegas serta semangat juang yang sangat
kuat, dalam menghadapi segala hal.
Bentuk baju yang serba longgar
dan pemakaiannya yang terbuka melambangkan sifat kebebasan dan keterbukaan orang Madura.
Kesederhanaan bentuk baju ini pun menunjukkan kesederhanaan masyarakatnya,
teguh dan keras.
Sarung palekat kotak-kotak dengan warna menyolok dan sabuk katemang, ikat
pinggang kulit lebar dengan kantong penghimpun uang di depannya adalah
perlengkapan lainnya. Terompah atau tropa merupakan alas kaki
yang umumnya dipakai.
Dahulu, pakaian gombor dan
pesa’ serta odheng inilah menjadi ciri khas penampilan para blater, tidak
ketinggalan senjata berupa clurit di pinggang atau pun ditenteng. Tetapi
seiring dengan perubahan jaman tampilan tersebut juga mengalami perubahan, para
blater saat ini tidak lagi tampil dengan pakaian yag mencolok. Para blater saat
ini menggunakan pakaian biasa seperti orang kebanyakan. Tetapi ada beberapa
ciri yang dapat membedakan tampilan blater ini dengan penampilan orang
kebanyakan.
Tampilan fisik para blater ini
dapat dikenali dengan badan mereka yang umumnya tegap dan berkumis, meskipun
banyaknya juga yang berbadan sedang dan tidak berkumis. Pakaian yang mereka
gunakan umumnya berwarna gelap berupa hem lengan panjang atau pendek, ada juga
yang menggunakan model pakaian safari warna gelap. Pada umumnya penampilan
mereka rapi dan bersih. Ciri lain yang dapat membedakan adalah umunya mereka
memakai kopyah hitam yang lebih tinggi dari rata-rata bentuk kopyah yang
dipakai kebanyakan orang. Cara memakai
kopyah tersebut juga berbeda dari yang dipakai kalangan santri, mereka memakai
kopyah agak kebawah menutupi sedikit bagian atas dahi. Sedangkan kopyah yang
dipakai kalangan santri dipakai agak
kebelakang dengan membiarkan dahi terbuka. Jika kalangan santri banyak
memakai kopyah berwarna putih, tidak demikain halnya bagi para blater, meraka jarang sekali
memakai kopyah putih, walaupun dia bergelar haji sekalipun. Ada juga para
blater ini yang memakai sarung seperti kalangan santri, tetapi yang membedakan
adalah umumnya sarung yang dipakai berwarna gelap seperti hitam atau ungu dan
umunya sarung yang dipakai adalah sarung tenun yang berharga mahal.
Sangat jarang ditemui seorang
blater berpenampilan sangar, kumal atau bertato seperti preman atau bromocorah.
Seorang blater umumnya berpenampilan rapi dan berkelas, hal ini sebagai positioning atau pembeda mereka dengan
kalangan preman jalanan ataupun bajingan. Karena pada prinsipnya mereka adalah
para preman atau bajingan yang sudah naik kelas sosial. Sehingga dalam
berpenampilan ataupun dalam bersikap mereka selalu akan meunjukkan kelasnya.
Umumnya meraka bersikap sopan dan menghargai orang lain dalam bertutur atau
bertingkah laku. Berbeda dengan preman jalanan atau bajingan biasa yang umumnya
kasar dan berpenampilan menyeramkan.
Identitas kaum blater selain
dapat dikenali secara sosio kulturnya seperti eksistensi dalam carok, remoh dan
karapan sapi juga dapat dicirikan dari penampilan fisiknya seperti yang telah
diuraikan diatas. Tetapi yang paling penting dari semua hal tersebut adalah
tingkat kebengallan (keberanianya) serta pengaruhnya di kalangan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
ABD
AZIZ FAIZ, N. I. M. (2012). KLEBUN DAN DUKUN (Tradisi Politik Pada
Masyarakat Madura di Desa Tampojung Tengah Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan)
(Doctoral dissertation, Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga).
Arianto, H., &
Krishna, K. (2011). Tradisi Carok pada Masyarakat Adat Madura. In Forum
Ilmiah (Vol. 8, No. 02).
De Jonge, Huub (ed.) 1995. Across
Madura Strait. Leiden: KITLV Press.
Harisudin, M. N. STEREOTIPE MANUSIA
MADURA DULU DAN SEKARANG. MN Harisudin, 3(1), 1.
Publisher. MADURA, T. C. P.
M. A. Tradisi Carok Pada Masyarakat Adat Madura.
Rozaki,
A. (2008). The social origin and political power of blaters (thugs) in Madura. Insight
Working Paper, 3.
Rozaki, Abdur. 2004. Menabur
Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim Kembar di Madura.
Yogyakarta: Pustaka Marwa.
Saputro,
M. E. (2009). Kiai Langgar and Kalebun: A Contestation Between Cultural
Brokers in a Non-pesantren Village in Madura, Indonesia. Graduate School,
Gadjah Mada University.
Sukimi, M. F. (2012). Cerita rakyat
dan stereotaip dalam konteks pembinaan identiti Madura. Geografia: Malaysian
Journal of Society and Space, 8(9), 22-38.
Susanto,
E. S. E. (2012). KEPEMIMPINAN [KHARISMATIK] KYAI DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT
MADURA. JURNAL KARSA (Terakreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012), 11(1),
30-40.
Wiyata, A. L.
(2002). Carok: konflik kekerasan dan harga diri orang Madura. PT LKiS Pelangi
Aksara.
Internet :
Eksistensi Kaum
Blater terhadap Carok dan Remoh. Tersedia dalam: http://edubadrus3.blogspot.com/2013/06/eksistensi-kaum-blater-terhadap-carok.html.
Tanggal akses: 26 Desember 2014.
Kerapan sapi Ajang Mempertaruhkan
Harga Diri. Tersedia dalam : http://www.jelajahbudaya.org/kabar-budaya/kerapan-sapi-ajang-mempertaruhkan-harga-diri.html. Tanggal
akses: 24 Desember 2014.
Kiai
dan Blater Kepemimpinan Informal di Madura. Tersedia dalam: http://www.lontarmadura.com/kepemimpinan-informal-di-madura/#ixzz3My4vyXlo. Tanggal akses:
24 Desember 2014.
Menggenal
Karakteristik Madura. Tersedia dalam : http://bilayuk.blogspot.com/2008/06/mengenal-karakteristik-madura.html. Tanggal akses:
26 Desember 2014.
Madura
dalam catatan Sejarah. Tersedia dalam : http://www.lontarmadura.com/madura-dalam-catatan-sejarah/. Tanggal akses:
26 Desember 2014.
Stereotipe
Orang Madura. Tersedia dalam: http://badrus-syamsi.blogspot.com/2012/06/stereotipe-orang-madura.html. Tanggal akses:
23 Desember 2014.
Senjata
Khas Madura. Tersedia dalam : http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1296/celurit. Tanggal akses:
27 Desember 2014.
Tradisi
Remo. Tersedia dalam : http://enung.tumblr.com/TradisiRemo. Tanggal akses:
27 Desember 2014.
.